Percakapan Pohon
Baru saja kemarin
(06/07/09) dinyatakan bahwa putaran pemilu telah memasuki Minggu tenang. Minggu
di mana semua atribut dan kegiatan kampanye harus dihentikan. Kita semua
melihat jalan-jalan raya yang sebelumnya dipenuhi dengan atribut partai beserta
caleg sudah hilang semuanya. Ya, mereka memang sepertinya taat dengan aturan
pemilu. Tetapi itu hanya terjadi di jalan raya, di lorong-lorong kecil serta
gang-gang masih kita dapati poster dan bendera partai tertempel di beberapa
titik.
Apa yang terjadi dengan
masuknya masa tenang ini. Ternyata, pohon-pohon di kota besar menjerit
kesakitan. Semua bagian pohon yang lain saling memarahi. Kasian pohon. Dialah
yang paling apes dalam kejadian ini. Pohon masih merasa begitu kesakitan ketika
sang daun berteriak. “Hei ranting, apa yang kamu lakukan, kenapa kami engkau
biarkan merasa lapar di siani.” “Ah kalian itu taunya berteriak saja,
saya saja ranting yang dekat dengan batang ini merasa kelaparan.” Dengan
melalui kesepakatan, maka sang daun dan sang ranting berteriak
sebesar-besarnya. “Pohon, kenapa engkau membiarkan kami kelaparan seperti ini?”
Tidakkah engkau setia dengan kami? Apalah arti kehadiranmu batang tanpa kami di
sini.”
“Ah....aduh....sakit.
kawan maafkan aku, aku begitu sulit untuk mengantarkan makanan untuk kalian.”
Kata sang pohon. “Kenapa wahai saudaraku?” tanya sang ranting. Ternyata si
ranting masih memanggil pohonnya sebagai saudara, padahal sudah sebulan ini dia
kekurangan makanan. Hari ini adalah puncaknya, ditambah dengan teriakan sang
daun yang seolah-olah menyalahkan dirinya, karena menganggap sang ranting
begitu serakah. “Tidakkah kalian melihat saya ini yang penuh dengan darah.
Makanan yang saya antarkan untuk kalian begitu banyak hambatannya. Bahkan ada
yang harus keluar dari genggaman saya.”
“Betul kawan, aku paham
itu.” Sela sang akar. “Begitu banyak makanan yang aku suplai untukmu tetapi
ternyat ranting dan daun tidak mendapatkannya.” “Jadi, kalau begitu kami harus
bagaimana?” potong sang daun yang semakin lapar. “sabarlah kawan, aku selalu
berusaha untuk segera menyembuhkan lukaku ini.” Jadi, mungkin beberapa hari ini
pasokan makanan kalian berkurang.” Bujuk sang batang kepada teman-temannya.
Percakapan itu hanya
mengingatkan kita bagaimana pohon itu menangis karena ulah para caleg di negeri
ini. Mereka dengan begitu tega memasang poster pada tiap batang di pinggiran
jalan. Puluhan paku yang mesti tertancap tajam pada batang-batang mereka.
Anehnya lagi, setelah poster itu dibuka karena masuknya masa tentang, maka
paku-paku itu tetap tertancap kuat pada batang-batang pohon. Pohon semakin
susah untuk berkembang, padahal kehadiran mereka sangat dibutuhkan. Bukan hanya
dibutuhkan untuk menempel poster tetapi kehadirannya telah membuat kita semua
merasa agak sejuh di kota besar ini. Akankah kita menyadari bahwa sesungguhnya
banyak cara lain untuk melakukan pemasangan poster yang sifatnya tidak membuat
mereka tersiksa. Biarkanlah pohon-pohon itu melambai menyaksikan kita
melambaikan bendera. Mereka akan sangat bersyukur ketika tak satupun paku
tertancap pada batangnya.
Perilaku caleg yang tak cinta terhadap
lingkungan sangat membahayakan masa depan bangsa. Belum lagi pemerintah yang
seolah menutup mata dengan semua peristiwa itu. Akibatnya negeri ini tetap
berada pada sebuah negeri yang hanya sangat cocok untuk bermimpi. Bermimpi
mendapatkan pemimpin yang baik, bermimpi mendapatkan kehidupan yang sejahtera, walau
ribuan bahkan jutaan kata-kata yang
telah keluar dari bibir ribuan caleg yang semuanya hanyalah janji. Tanggal
sembilan April 2009 nantilah yang akan menjadi momen bersejarah untuk sebuah
perubahan. Semoga bukan perubahan dalam mimpi. Jangan sampai mimpi itu semakin
terselimuti dengan hadirnya mimpi yang
lain yang juga hanya akan membawa angin malapetaka di negeri ini. Tak cukupkah
kiat bercermin pada dua pemilu sebelumnya yang semuanya hanya menjadikan mereka
duduk pada kursi empuk dan tak kurang yang berakhir pada tangan KPK. Yang hadir
pada pemilu 2009 ini mungkin tak akan lebih dari itu. Hal ini mesti dikatakan
karena kehadiran calon legislatif hari ini hanyalah karena uang dan ketokohan.
Bukan karena sebuah prestasi dan cita-cita yang luhur untuk menjadikan negara
ini sebagai negara yang berdaulat dan menjadikan masyarakatnya sebagai bangsa
yang sejahtera.
Makasar,
07 April 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar