Selamat Datang di Blog Edukasi Suparmin, SMA Negeri 1 Pallangga, Gowa, Sulawesi Selatan

Sabtu, 10 November 2012

Cerpen Pribadi


Bola Mata Bulat

Bola matamu masih bulat. Sebulat kemarin. Tak perlu rumus untuk mengukur kebulatannya. Bola mata itu semakin indah dengan hiasan putih di sekelilingnya. Tak ada garis-garis merah  yang mengotorinya. Putihnya suci, sesuci rasa dalam dada ini. Rasa ini telah terpendam sekian lamanya. Tepatnya tiga bulan. Larva-larvanya semakin panas dan ingin untuk segera disemburkan. Tapi mutut ini masih terkatup, tidak berani untuk memuntahkan larva yang begitu menekan. Dalam hati, kata-kata telah terangkai dengan sempurna. Bahkan, settingan tempat romantis telah puluhan berjejer rapi dalam pikiranku. Setiap hari, kata-kata itu selalu kuucapkan di depan cermin. Bahkan dengan ekspresi yang bagus layaknya aku sudah berada di depannya.
“ oh…bungaku”
“wangimu begitu menekan, menekan dalam jiwa, wangi berminggu-minggu”
“aku seperti sebutir bintang”
“Tapi yakinlah ketika engkau ada menemaniku, aku ibaratkan kau sebagai bulan”
“kita bercengkrama semalaman, lalu larut bersama karena mentari segera mengusir kisah kita”
Rounded Rectangle: 1Kata-kata itu selalu kuucapkan dan selalu berganti dengan kata-kata yang lain serta ekspresi yang lain pula. Tetapi, kata-kata tingga llah kata-kata. Kata-kata itu perlu pembuktian. Aku tidak ingin menjadikannya sebagai untaian kata-kata dalam diary. Untaiakan kata-kata yang akan semakin bertumpuk lalu menggunung. Bahkan nantinya jika aku cetak bisa saja hasilnya setebal novel legendaris “Hary Potter”. Hari ini mentari
Rounded Rectangle: 2akan segera menuju ufuk. Aku kembali gagal menyampaiakn kata-kata itu di dekat bola matamu. Tapi aku yakin, bola mata itu akan setia menungguku. Menunggu kata-kata yang akan aku kirimkan untuknya. Bola mata itu akan semakin bersinar setelah aku mengirimkan kata-kata ini untuknya. Tapi hari ini sekali lagi aku kembali gagal. Malam segera menjemput. Setelah ritual salat kulaksanakan kuayunkan kaki menuju pintu. Aku ingin mengintip rembulan malam ini. Rembulan yang akan muncul dengan purnama. Aku berjanji akan merangkai kembali kata-kata indah malam ini semoga segera tersampaikan untukmu. Benar saja… bulan itu benar-benar sempurna. Kupandangi dia dengan teliti seolah sedang melihat raut wajahmu yang tersenyum dengan bola mata indah. Kata-kata kembali terangkai. Kata-kata itu mengalir di atas kertas yang selalu aku siapkan ketika ingin mengingatmu.  Kalimat demi kalimat aku tulis. Kata demi kata terangkai hingga lembaran-lembaran berikutnya. Wajahmu rasanya semakin terasa ada di dekatku. Aku ingin sekali lagi memandangi bulan itu. Pandangan terakhir aku buat begitu lama. Kutelisik dalam-dalam ronanya.  Kuhirup udara untuk merasakan aromanya. Aku merasakan aroma bola matamu hadir pada nafasku malam itu. Suasana sekitar semakin sepi. Hening sudah mulai nampak. Angin malam pun juga mulai berhembus. Aku membalikkan badan untuk segera kembali ke dalam rumah. Kusambar remot di atas sound system. Kupencet tombol program. Tepat sebuah stasiun swasta yang terlihat. Golden Ways. Nama acara itu. Kutilik tema di bawah layar televisi. Tertulis “Serigala kasih buaya cinta”. Aku begitu bersemangat untuk mengikuti alur ceritanya. Segera aku duduk di atas tikar lalu kusilakan kakiku dan kuambil bantal yang sembari tadi tergeletak di atas karpet. Kuletakkan dengan baik di atas pahaku. Kupertajam pendengaranku. Kata-kata keluar dari Mario Teguh, sang pembicara, pada acara itu.
Bahasanya begitu tegas, begitu jelas, begitu bermakna. Kisah cinta dikisahkan dengan begitu romantis. Setiap pertanyaan akan dijawab dengan begitu bijaksana. “cinta perlu ketegasa, cinta butuh keberanian, pun pengorbanan” sebagian ucapannya. Sebelum berakhir kudengar kata ini, “Cinta yang paling asyik untuk dinikmati adalah cinta yang butuh perjuangan untuk mendapatkannya.” Adreanlinku mengalir. Darahku membuncah ke otak. Kata-kata itu seakan menghipnotis pikiranku, lalu ke hati dan menggelayut pada ubun-ubunku.
Aku seakan mendapatkan amunisi baru. Segera pikiranku berganti tentang bola mata hitamnya. Kumatikan televisi lalu kucatat kata-kata itu pada kertas yang tadi aku gunakan untuk menulis kata-kata indah untuknya. Kutebalkan tulisan itu agar lebih mudah dibaca dan lebih mencolok daripada tulisan lainnya. Kembali aku mengingat bola mata hitamnya. Takkan kubiarkan bola mata itu dipandangi oleh mata lain. Ingin kupasangkan bola matanya dengan bola mataku sehingga dia akan bercakap tentang rasa yang kita akan rajut bersama. Aku sudah begitu yakin tentang keinginanku. Aku kembali menyusun strategi untuk mengungkapkan isi hati ini. Kulirik kelender. Lusa tepat tanggal 12 Februari. Banyak orang menganggapnya sebagai hari kasih sayang. Valentine. Kata itu yang sering terpampang di kafe-kafe sebagai tanda peringatan tanggal tersebut. Kuingat kisahnya tentang seorang panglima perang yang bernama Valentino. Pada akhirnya dia dibunuh karena cinta yang dimilikinya dia pertentangkan dengan pekerjannya. Aku tak ingin seperti itu. Aku tak ingin ada akhir dari cinta kita. Aku berharap hari esok betul-betul menjadi hari kasih sayang untuk kita. Kuungkapkan perasaanku, kau jawab dengan pelan, lalu kita berbahagia dan bola matamu segera bersinar sebagai buktinya.  Kembali kupersiapkan kata-kata untuk besok malam. Cinta butuh keberanian. Ini yang harus aku pegang. Kusimpan kata-kata itu baik-baik pada ruang pikiranku. Aku akan mengungkapkannya besok. Harus!!! Tegasku. Aku harus siap
dengan segala resiko. Tapi, setiap kulirik bola matanya, dia memberikan keyakinan kepadaku untuk segera menyatukannya dengan bola mataku. Jangan-jangan bola matanya adalah serpihan dari bola mataku. Akhh… semunya hanya angan tetapi selalu ada keyakinan untuk mempersatukannya. Kuawali saja malam ini dengan tidur cepat. Susah. Walau raga ini telah terlentang di atas kasur, bola  mata ini susah untuk terpejam. Dia masih bermain liar menyaksikan palfon kamar. Seolah, bola matamu mengajaknya bermain petak umpet di malam ini. Kuraih bantal lalu kuhempaskan di atas wajahku. Aku berharap mata ini segera terpejam dan esok lebih cepat terbuka. Aku ingin merangkai kata yang aku akan ucapkan di hadapaanmu sebelum mentari menjemputku terlebih dahulu. Tepat…..tak ada kata-kata lalu mataku terpejam…dan ……kita tertidur…
****
Aku terbangun sesuai rencana.  Kubasuh wajahku dengan wudu lalu salat  dan tak terlupakan doa kupanjatkan. Termasuk doa pengungkapanku hari ini. Tepatnya malam nanti. Kuingat kembali kata-kata yang akan kuucapkan di hadapan bola matanya. Kupikirkan pakaian yang tepat serta media penyampaian yang cocok. Kupilih, apakah setangkai bunga mawar, segenggam edelweiss, atau sekotak  coklat. Setelah kutimbang-timbang pilihan itu berakhir pada sekotak coklat. Sekotak coklat aku pikir lebih cocok. Selain engkau menerimanya maka coklat itu pun pasti akan engkau cicipi. Kalaupun tidak, aku yakin engkau akan mengawetkannya sebagai tanda begitu kisah ini akan terjalin selamanya.
Semoga pilihanku tidak salah. Kuberanikan diriku untuk mengetik pesan pertemuanku dengannya. Kuajak dia untuk bertemu pada sebuah kafe yang sangat terkenal karena
keseringannya menjadi tempat acara anak-anak muda sekarang ini. Pungguk dirindu pucuk pun tiba. HP ku dengan segera berdering. Kusampar lalu segera kubaca pesan masuk.
“Oke.” Kata itu yang tertulis. Tanganku bergetar, wajahku sedikit menegang. Kueratkan peganganku pada handphoneku. Katatap sekali lagi layarnya. Semakin jelas terbaca kata itu. Tak lama kemudian handphone ini kembali berdering. Sebuah sms kembali masuk. Aku berharap ini sms susulan darinya. Segera kutekan tombol oke untuk membacanya.
“bolehkah engkau menemaniku untuk menikmati malam nanti” “Aku sudah begitu lama menunggu moment ini” dari Yuli.   Allamak….kupegang rambutku. Kujambak dengan keras. Otakku bergelimpungan. Yuli adalah sahabat sang pemilik bola mata bulat itu. Aku pusing tujuh keliling. Rencana yang baru saja aku ungkapkan telah bertemu dengan batu sandungan. “Kuajak teman dekatku, kalau kamu masih malu, tapi lebih baik kita berdua saja.” Sms berikutnya dari Yuli kembali terbaca di layar HP ku. Aku semakin stress. Pasti yang dimaksud teman dekatnya adalah pemilik bola mata bulat itu. Orang yang aku telah membuat janji dengannya.
****
Aku tak bisa mengetik sms balasan. Jangankan mengetik, memikirkan apa yang akan aku tuliskan saja susah. Kutarik nafas dalam-dalam. Kuhembuskan dengan keras disertai dengan suara. Akankah rasa yang telah aku pendam tiga bulan lamnya akan hancur berkeping-keping. Mengalihkan rasa ini ke Yuli juga tak mungkin. Bukan karena Yuli tidak menarik, tetapi bola mata ini memang sudah begitu akrab dengan bola mata bundarnya. Jarum jam di dinding sudah berada pada angka 8.15. Sampai sekarang waktu masih aku buang untuk berpikir tentang kebingunganku. Aku berpikir, apa yang
harus aku katakana ke Yuli. Ataukah aku akan membuat janji lain dengan sang pemilik bola mata bulat. Pilihan kedua rasanya tak mungkin aku lakukan. Tetapi, menolak keinginan Yuli bagaimana caranya? Mungkinkah bola mata bulat itu ingin bersamaku tanpa kehadiran Yuli sebagai sahabat dekatnya. Ataukah  dia lebih memilih Yuli sebagai sahabatnya. Ambruklah jiwaku ketika pilihan kedua yang diinginkannya.
Kuputuskan untuk tidak membalas sms dari Yuli. “Cinta butuh ketegasan.” Gumamku dalam hati. Tetap aku terfokus untuk memikirkan moment pertemuanku dengan bola mata bulat itu. Kuingat dirinya untuk mengembalikan konsentrasiku. Aku kembali merunut-runut toko coklat yang sering menyediakan coklat yang berkualitas. Ahhhaaa…. Kutemukan nama toko coklat “C & C” pasti kepanjangnnya adalah coklat dan cinta. Tetapi itu hanya kesimpulanku sendiri. Nama took itu begitu lekat dalam memoriku. Kuhapal alamatnya. Aku segera mandi. Dalam mandi pun konsentrasiku adalah pertemuan malam nanti. Kurapikan pakaianku, kuteguk segelas teh yang telah terhidang di ruang tengah. Segera kupanasi motor lalu mbummmm…..aku tak melihat lagi taman indah di depan rumahku. Padahal taman itu selalu memberikan aku kejutan setiap pagi. Mungkin dengan mekarnya bunga adenium, kamboja atau dengan bunga-bunga yang lain. Fokusku adalah memilih coklat serta bentuknya di toko nanti.
****
“Selamat siang” sapa sang penjaga took.
“siang”  balasku dengan cepat. Waktu memang sudah menunjukkan pukul 11.00. ternyata toko coklat itu tidak sepi. Banyak pelanggan yang dating hari ini. Entah mereka memiliki niat sepertiku ataukah mereka tinggal merekatkan tali kasihnya malam nanti. Ah,,… aku masih tahap permulaan. Kukelilingi rak-rak yang ada. Kutelisik satu demi satu
bentuk coklat dari balik kaca. Mataku terhenti pada satu bentuk. Bentuknya replika bulan dan bintang. “Inikah yang paling tepat” pikirku. “Ah tidak,…ini hanya cocok untuk orang yang sudah lama berpacaran” batinku segera menolak. Kembali kulangkahkan kaki untuk memilih bentuk yang lain. Bentuk dua hati kecil dan sebuah lilin yang berbentuk bulat aku temukan di sudut kaca. Lilin itu bening. Kuperhatikan sekali lagi. Kuputuskan untuk memilihnya. Dua hati kita akan bersatu dengan saksi bola mata bulatmu. Paslah dengan coklat yang aku pilih. Segera kupanggil penjaga lalu kutunjuk coklat yang aku pesan. “sekalian dibungkus dengan kertas pink mbak ya” perinthku kepada sang penjaga. Dia segera mengambil coklat itu tanpa jawaban. Aku menungguinya di dekat kasir.

****
Malam segera datang. Kulakukan segala persiapan. Kupilih pakaian yang paling cocok menurutku. Kupasang gaya terbaikku malam ini. Satu harapaan, semoga hati ini bisa menyatu dengan hatinya. Kembali kuketik sms. “kita bertemu pada pukul 08.00 di kafe ya” segera ku kirim.
“Jadi ya…. Oke”     ya Tuhan SMS itu terkirim ke nomornya Yuli. Tulangku melunak. “ti…ti..dak.. bukan itu maksudku Yul, aku membalas sms dari temanku tadi. Maaf yaaaaaaa”. Kupilih untuk mematikan handphoneku. Aku yakin pemilik bola mata bundar itu konsisten dan akan datang tepat waktu.
****
Benar saja, tak lama aku berada di kafe itu dia sudah datang. Pakaiannya begitu indah malam ini. Penampilannya menawan sekali. Wajah yang dihiasi bola mata indah terlihat
bercahaya. Cahayanya mengalahkan temaran lampu kafe malam itu. Segera kusapa dia,…kuajak untuk duduk pada meja yang sedari tadi aku tempati. Dia menurut saja. Kutarik kursi lalu kupersilahkan dia duduk. Diriku begitu berani malam ini. Tidak seperti malam-malam sebelumnya yang selalu bergetar ketika membayangkan bertemu dengannya. Segera aku pesan dua jus melon spesial malam itu. Aku rasa pas untuk mendinginkan sedikit perasaanku. Untuk menggerakkan otakku merangkai ucapan-ucapan yang telah aku persiapkan sebelumnya. Sambil menyerupuk cemilan yang ada di depan kami, dia terus berbicara tentang hal-hal yang terjadi di kampus kami. Aku menanggapinya dengan memperlihatkan keseriusan. Sesekali kulirik wajahnya dan terfokus pada bola matanya. Kusaksiakn bola mata itu menyuruhku untuk segera memulai ucapan-ucapan hati. Kumulai saja.
“malam ini kamu bahagia tidak” kalimat  itu aku ucapkan setelah dia terdiam.
“Saya bahagai seperti engkau merasakan kebahagian” jawabnya.
Kumulailah ucapanku dengan kata-kata yang selalu aku rangkai.
“lampu itu sedikit temaram, tapi aura wajahmu susah untuk tertutupi.”
“aura wajahmu begitu indah dengan bola matamu ya, engklau begitu cantik.” lanjutku
“Bolehkah aku menghiasi wajah cantik itu dengan mengahdirkkan bola mataku di sana?”
Tanganku segera meraba coklat yang aku bawa. Jarum jam di kafe sudah pada angka 22.00. Kupegang kotak coklat itu dengan dua tangan. Kusodorkan di hadapannya.
“jika tanganmu menyambut kotak ini, tak perlu ada kata yang kau ucapkan. Cukuplah

itu menjadi bukti bahwa rasaku engkau terima” ucapku sedikit memaksa.
Dia terdiam. Wajahnya agak melayu. Tangannya masih menggelayut di bawah meja.
Lampu serasa semakin temaran. Orang-orang di sekitar kami masing-masing sibuk. Tiada yang menyaksikan kami. Lima menit sudah kata-kata itu keluar dari mulutku. Dia masih duduk mematung. Pikiranku sudah sedikit resah. Akankah Yuli sudah pernah menceritakan rasa yang dia miliki padaku pada sahabatnya yang ada di depanku ini?. Jika ya,…apa yang akan terjadi. Tapi semua yang akan dia ucapkan tentang itu telah aku kunci dengan kata-kata terakhirku tadi. Cukuplah tanggapannya yang memberiku bukti. Dia terimakah kotak ini atau tidak. Jika menit sudah sampai pada angka 10 dan dia belum memberikan reaksi apa-apa, aku harus mengambil sikap. Segera kusimpan kotak ini di dekatku, lalu kuucapkan terima kasih atas kehadirannya.
Pelan-pelan tangannya keluar dari bawah meja. Jemari lentik itu lalu mendekat pada kotak coklat yang aku bawa. Jemarinya lalu menggelayut di atas jemariku. Bukan main rasanya. Kutatap bola matanya. Kutahan perasaan bahagiaku. Kulihar rona wajahnya sudah kembali ceria. Jemari itu masih saling bersentuhan. Kurasakan darahku telah bercampur dengan darahnya. Nadiku digantikan oleh nadinya. Mungkin juga golongan darah kami sama. Tak ada ucapan kala itu. Tapi, bagiku sentuhan tangan ini telah menggambarkan lembaran-lembaran kisah. Kisah yang akan terus terngiang pada jiwaku. Bahkan akan mengalir dalam setiap tarikan nafasku.
“bola mataku belum begitu sempurna untuk terkatup sebelum bola matamu menemaninya” kata-kata itu akhirnya keluar juga dari bibir tipisnya. Dia ternyata memilih jalan lain. Bukan jalan yang aku tawarkan tadi. Tetapi jalan yang dia pilih seribu kali lebih dahsyat dari apa yang aku inginkan. Kubalik telapak tangaku. Sekarang jemari kami bertatapan. Kuremas jemarinya dengan sempurna. Tiada kata yang terucap lagi
dariku. Mulutku terkunci. Batinku membuncah. Badanku kaku. Aku merasakan kebahagiaan yang tiada tara. Kami pun larut dalam kisah-kisah indah malam itu hingga aku mengantarkannya pulang. Pasti tanpa menyebut nama Yuli sedikit pun.

Pallangga, 23 November 2011























































Tidak ada komentar:

Posting Komentar


Try Relay: the free SMS and picture text app for iPhone.