Bola Mata Bulat
Bola
matamu masih bulat. Sebulat kemarin. Tak perlu rumus untuk mengukur
kebulatannya. Bola mata itu semakin indah dengan hiasan putih di sekelilingnya.
Tak ada garis-garis merah yang
mengotorinya. Putihnya suci, sesuci rasa dalam dada ini. Rasa ini telah
terpendam sekian lamanya. Tepatnya tiga bulan. Larva-larvanya semakin panas dan
ingin untuk segera disemburkan. Tapi mutut ini masih terkatup, tidak berani
untuk memuntahkan larva yang begitu menekan. Dalam hati, kata-kata telah
terangkai dengan sempurna. Bahkan, settingan tempat romantis telah puluhan
berjejer rapi dalam pikiranku. Setiap hari, kata-kata itu selalu kuucapkan di
depan cermin. Bahkan dengan ekspresi yang bagus layaknya aku sudah berada di
depannya.
“
oh…bungaku”
“wangimu
begitu menekan, menekan dalam jiwa, wangi berminggu-minggu”
“aku
seperti sebutir bintang”
“Tapi
yakinlah ketika engkau ada menemaniku, aku ibaratkan kau sebagai bulan”
“kita
bercengkrama semalaman, lalu larut bersama karena mentari segera mengusir kisah
kita”




Bahasanya
begitu tegas, begitu jelas, begitu bermakna. Kisah cinta dikisahkan dengan
begitu romantis. Setiap pertanyaan akan dijawab dengan begitu bijaksana. “cinta perlu ketegasa, cinta butuh
keberanian, pun pengorbanan” sebagian ucapannya. Sebelum berakhir kudengar
kata ini, “Cinta yang paling asyik untuk
dinikmati adalah cinta yang butuh perjuangan untuk mendapatkannya.” Adreanlinku
mengalir. Darahku membuncah ke otak. Kata-kata itu seakan menghipnotis
pikiranku, lalu ke hati dan menggelayut pada ubun-ubunku.


dengan
segala resiko. Tapi, setiap kulirik bola matanya, dia memberikan keyakinan
kepadaku untuk segera menyatukannya dengan bola mataku. Jangan-jangan bola
matanya adalah serpihan dari bola mataku. Akhh… semunya hanya angan tetapi selalu
ada keyakinan untuk mempersatukannya. Kuawali saja malam ini dengan tidur
cepat. Susah. Walau raga ini telah terlentang di atas kasur, bola mata ini susah untuk terpejam. Dia masih
bermain liar menyaksikan palfon kamar. Seolah, bola matamu mengajaknya bermain
petak umpet di malam ini. Kuraih bantal lalu kuhempaskan di atas wajahku. Aku
berharap mata ini segera terpejam dan esok lebih cepat terbuka. Aku ingin
merangkai kata yang aku akan ucapkan di hadapaanmu sebelum mentari menjemputku
terlebih dahulu. Tepat…..tak ada kata-kata lalu mataku terpejam…dan ……kita
tertidur…
****

Semoga
pilihanku tidak salah. Kuberanikan diriku untuk mengetik pesan pertemuanku
dengannya. Kuajak dia untuk bertemu pada sebuah kafe yang sangat terkenal
karena
keseringannya
menjadi tempat acara anak-anak muda sekarang ini. Pungguk dirindu pucuk pun
tiba. HP ku dengan segera berdering. Kusampar lalu segera kubaca pesan masuk.
“Oke.”
Kata itu yang tertulis. Tanganku bergetar, wajahku sedikit menegang. Kueratkan
peganganku pada handphoneku. Katatap
sekali lagi layarnya. Semakin jelas terbaca kata itu. Tak lama kemudian handphone ini kembali berdering. Sebuah
sms kembali masuk. Aku berharap ini sms susulan darinya. Segera kutekan tombol
oke untuk membacanya.
“bolehkah engkau menemaniku
untuk menikmati malam nanti” “Aku sudah begitu lama menunggu moment ini” dari Yuli. Allamak….kupegang rambutku. Kujambak dengan
keras. Otakku bergelimpungan. Yuli adalah sahabat sang pemilik bola mata bulat itu.
Aku pusing tujuh keliling. Rencana yang baru saja aku ungkapkan telah bertemu
dengan batu sandungan. “Kuajak teman
dekatku, kalau kamu masih malu, tapi lebih baik kita berdua saja.” Sms
berikutnya dari Yuli kembali terbaca di layar HP ku. Aku semakin stress. Pasti
yang dimaksud teman dekatnya adalah pemilik bola mata bulat itu. Orang yang aku
telah membuat janji dengannya.
****
Aku
tak bisa mengetik sms balasan. Jangankan mengetik, memikirkan apa yang akan aku
tuliskan saja susah. Kutarik nafas dalam-dalam. Kuhembuskan dengan keras
disertai dengan suara. Akankah rasa yang telah aku pendam tiga bulan lamnya
akan hancur berkeping-keping. Mengalihkan rasa ini ke Yuli juga tak mungkin.
Bukan karena Yuli tidak menarik, tetapi bola mata ini memang sudah begitu akrab
dengan bola mata bundarnya. Jarum jam di dinding sudah berada pada angka 8.15.
Sampai sekarang waktu masih aku buang untuk berpikir tentang kebingunganku. Aku
berpikir, apa yang
harus
aku katakana ke Yuli. Ataukah aku akan membuat janji lain dengan sang pemilik
bola mata bulat. Pilihan kedua rasanya tak mungkin aku lakukan. Tetapi, menolak
keinginan Yuli bagaimana caranya? Mungkinkah bola mata bulat itu ingin
bersamaku tanpa kehadiran Yuli sebagai sahabat dekatnya. Ataukah dia lebih memilih Yuli sebagai sahabatnya.
Ambruklah jiwaku ketika pilihan kedua yang diinginkannya.


****
“Selamat
siang” sapa sang penjaga took.
“siang”
balasku dengan cepat. Waktu memang sudah
menunjukkan pukul 11.00. ternyata toko coklat itu tidak sepi. Banyak pelanggan
yang dating hari ini. Entah mereka memiliki niat sepertiku ataukah mereka
tinggal merekatkan tali kasihnya malam nanti. Ah,,… aku masih tahap permulaan.
Kukelilingi rak-rak yang ada. Kutelisik satu demi satu
bentuk
coklat dari balik kaca. Mataku terhenti pada satu bentuk. Bentuknya replika bulan
dan bintang. “Inikah yang paling tepat”
pikirku. “Ah tidak,…ini hanya cocok untuk orang yang sudah lama berpacaran”
batinku segera menolak. Kembali kulangkahkan kaki untuk memilih bentuk yang
lain. Bentuk dua hati kecil dan sebuah lilin yang berbentuk bulat aku temukan
di sudut kaca. Lilin itu bening. Kuperhatikan sekali lagi. Kuputuskan untuk
memilihnya. Dua hati kita akan bersatu dengan saksi bola mata bulatmu. Paslah
dengan coklat yang aku pilih. Segera kupanggil penjaga lalu kutunjuk coklat
yang aku pesan. “sekalian dibungkus
dengan kertas pink mbak ya” perinthku kepada sang penjaga. Dia segera mengambil
coklat itu tanpa jawaban. Aku menungguinya di dekat kasir.
****
Malam
segera datang. Kulakukan segala persiapan. Kupilih pakaian yang paling cocok
menurutku. Kupasang gaya terbaikku malam ini. Satu harapaan, semoga hati ini
bisa menyatu dengan hatinya. Kembali kuketik sms. “kita bertemu pada pukul 08.00 di kafe ya” segera ku kirim.
“Jadi
ya…. Oke” ya Tuhan SMS itu terkirim
ke nomornya Yuli. Tulangku melunak. “ti…ti..dak..
bukan itu maksudku Yul, aku membalas sms dari temanku tadi. Maaf yaaaaaaa”.
Kupilih untuk mematikan handphoneku.
Aku yakin pemilik bola mata bundar itu konsisten dan akan datang tepat waktu.
****
Benar
saja, tak lama aku berada di kafe itu dia sudah datang. Pakaiannya begitu indah
malam ini. Penampilannya menawan sekali. Wajah yang dihiasi bola mata indah terlihat


“malam ini kamu bahagia
tidak”
kalimat itu aku ucapkan setelah dia
terdiam.
“Saya bahagai seperti
engkau merasakan kebahagian” jawabnya.
Kumulailah
ucapanku dengan kata-kata yang selalu aku rangkai.
“lampu itu sedikit temaram,
tapi aura wajahmu susah untuk tertutupi.”
“aura wajahmu begitu indah
dengan bola matamu ya, engklau begitu cantik.” lanjutku
“Bolehkah aku menghiasi
wajah cantik itu dengan mengahdirkkan bola mataku di sana?”
Tanganku
segera meraba coklat yang aku bawa. Jarum jam di kafe sudah pada angka 22.00. Kupegang
kotak coklat itu dengan dua tangan. Kusodorkan di hadapannya.
“jika tanganmu menyambut
kotak ini, tak perlu ada kata yang kau ucapkan. Cukuplah
itu menjadi bukti bahwa
rasaku engkau terima”
ucapku sedikit memaksa.
Dia
terdiam. Wajahnya agak melayu. Tangannya masih menggelayut di bawah meja.
Lampu
serasa semakin temaran. Orang-orang di sekitar kami masing-masing sibuk. Tiada
yang menyaksikan kami. Lima menit sudah kata-kata itu keluar dari mulutku. Dia
masih duduk mematung. Pikiranku sudah sedikit resah. Akankah Yuli sudah pernah
menceritakan rasa yang dia miliki padaku pada sahabatnya yang ada di depanku
ini?. Jika ya,…apa yang akan terjadi. Tapi semua yang akan dia ucapkan tentang
itu telah aku kunci dengan kata-kata terakhirku tadi. Cukuplah tanggapannya
yang memberiku bukti. Dia terimakah kotak ini atau tidak. Jika menit sudah
sampai pada angka 10 dan dia belum memberikan reaksi apa-apa, aku harus
mengambil sikap. Segera kusimpan kotak ini di dekatku, lalu kuucapkan terima
kasih atas kehadirannya.
Pelan-pelan
tangannya keluar dari bawah meja. Jemari lentik itu lalu mendekat pada kotak
coklat yang aku bawa. Jemarinya lalu menggelayut di atas jemariku. Bukan main
rasanya. Kutatap bola matanya. Kutahan perasaan bahagiaku. Kulihar rona
wajahnya sudah kembali ceria. Jemari itu masih saling bersentuhan. Kurasakan
darahku telah bercampur dengan darahnya. Nadiku digantikan oleh nadinya. Mungkin
juga golongan darah kami sama. Tak ada ucapan kala itu. Tapi, bagiku sentuhan
tangan ini telah menggambarkan lembaran-lembaran kisah. Kisah yang akan terus
terngiang pada jiwaku. Bahkan akan mengalir dalam setiap tarikan nafasku.
“bola mataku belum begitu
sempurna untuk terkatup sebelum bola matamu menemaninya” kata-kata itu akhirnya
keluar juga dari bibir tipisnya. Dia ternyata memilih jalan lain. Bukan jalan
yang aku tawarkan tadi. Tetapi jalan yang dia pilih seribu kali lebih dahsyat
dari apa yang aku inginkan. Kubalik telapak tangaku. Sekarang jemari kami bertatapan.
Kuremas jemarinya dengan sempurna. Tiada kata yang terucap lagi
dariku.
Mulutku terkunci. Batinku membuncah. Badanku kaku. Aku merasakan kebahagiaan
yang tiada tara. Kami pun larut dalam kisah-kisah indah malam itu hingga aku
mengantarkannya pulang. Pasti tanpa menyebut nama Yuli sedikit pun.
Pallangga,
23 November 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar