Putri Taddampalik
Di sulawesi selatan, sebelum
agama islam masuk ke Indonesia terdapat beberapa buah kerajaan. Antara lain
kerajaan Luwu, kerajaan Bone, dan kerajaan Gowa. Kerajaan Luwu dan kerajaan
Bone merupakan kerajaan orang-orang bugis. Sedangkan Gowa, adalah kerajaan
orang Makassar. Baik suku-suku yang ada di Maluku maupun yang ada di Makassar
sama-sama terkenal dengan sikapnya yang satria dan gagah berani, luas
pengetahuannya karena mereka suka berlayar mengembara jauh.
Kisah
ini berawal pada saat kerajaan Luwu diperintah oleh Datu Luwu La Bustana Datu
Maongge. Datu Luwu ini sangat terkenal karena kebijaksanaan serta gagah berani.
Sikapnya yang tegas menjadikan aman dan makmur. Rakyatnya hidup tenteram, tak
pernah mengalami kekurangan bahan pakaian atau makanan.
Berita
tentang kecantikan Putri Tadampalik akhirnya sampai pula ke telinga Raja Bone.
Raja Bone mempunyai seorang putra. Beliau bermaksud hendak mengambil putri
Tadampalik sebagai menantu. Selanjutnya raja Bone mengutus rombongan perwira
untuk melakukan pinangan. Mendengar akan datangnya utusan dari Bone, Datu Luwu
jadi bingung. Sebab menurut adat Luwu, seorang putri dari Luwu tak dibenarkan
manikah dengan lelaki dari luar sukunya. Tetapi kalau pinangan itu ditolaknya,
tentu bisa gawat akibatnya. Bone adalah negeri yang amat kuat. Kalau terjadi
perang tentulah rakyat yang akan menderita.
Raja
menyayangi putrinya tetapi ternyata dia juga tidak bisa mengabaikan keselamatan
rakyatnya. Dia betul-betul dihadapkan pada pilihan yang sulit. Kalau pinangan
diterima anak dan seluruh keluarganya mungkin akan menjadi korban, mereka akan
dikutuk Dewata. Kalau lamaran raja Bone ditolak maka tentu raja besar itu akan
marah dan segera mengerahkan bala tentaranya untuk menggempur kerajaan Luwu.
Tetapi
apa yang terjadi? Hanya beberapa saat setelah utusan kerajaan Bone pergi, putri
Tadampalik tiba-tiba jatuh sakit. Sakit sang putri itu aneh sekali, dan tak
seorang pun sanggup menyembuhkannya. Semua dukun dan tabib di seluruh pelosok
negeri Luwu didatangkan untuk mengobati tapi semuanya sia-sia. Sakit putri
Tadampalik kian hari bertambah buruk. Seluruh tubuhnya menjadi amis dan berair.
Raja mulai khawatir penyakit ini akan menular kepada seluruh kerbat istana dan
menjalar ke seluruh rakyatnya.
“Oh,
inilah hukuman para dewa karena aku berani melanggar larangannya.” Gumam raja
penuh sesal. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Raja akhirnya sadar, inilah resiko
dari pengorbanan bagi keselamatan rakyatnya.
Agar
penyakit ini tidak mewabah ke seluruh negeri, maka putusan beliau, putri akan
dibuang dengan rakit yang akan diikuti oleh beberapa orang pengikut setianya.
Sebuah
rakit raksasa dibangun di atas sungai. Di bagian tengahnya dibuatkan
rumah-rumah untuk kamar sang putri. Di sekitarnya diisi bahan perbekalan. Dan
setelah semuanya siap, perpisahan pun berlangsung. Sebelum berangkat, baginda
memberikan sebuah pusaka berupa keris kepada putri Tadampalik. Perpisahan yang
megharukan pun terjadi dengan iringan tangis dan air mata. Semua terdiam bisu
menatap kepergian sang putri. Daun-daun ikut berguguran seakan ikut bersedih.
Rakit
kemudian berjalan pelan menuju ke arah muara. Tetapi mereka tidak tahu akan
berlabuh dimana. Namun rombongan pengiring putri Tadampalik itu telah bertekad
untuk teris menjaga sang putri. Tak peduli dimanapun mereka berada.
Hari
berganti hari. Keadaan putri Tadampalik semakin menjadi kurus. Pada suatu malam
bertepatan dengan datangnya bulan purbama, mereka tiba i sebuah daerah yang
landai. Hawanya sejuk dan nampak amat tentram. Rakit segera dilabuhkan dan
mereka beristirahat di tempat itu.
Setelah
fajar tiba, mereka bangun, naik ke darat. Salah seorang di antara mereka
menemukan buah wajo. Maka daerah itu dinamai Wajo hingga sekarang. Mereka
membangun perkemahan dan mulai bercocok tanam. Selanjutnya mereka membuat
gubuk-gubuk untuk bertempat tinggal. Putri Tadampalik dibuatkan rumah agak
besar.
Ternyata
daerah itu amat subur. Dalam waktu singkat saja, hasil ladang sudah bisa
dipetik buahnya. Mereka juga dapat mencari lauk pauk berupa ikan yang terdapat
di sungai. Maka dimulailah pertumbuhan sebuah perkampungan yang sederhana namun
penduduknya tentram, rukun, dan damai.
Pada
suatu hari, ketika putri Tadampalik duduk sendiri di halaman. Tiba-tiba datang
seekor kerbau bule. Ia menyangka kerbau itu akan memakan tanaman sayur yang tak
jauh dari tempatnya. Kerbau itu lalu dihalaunya. Tetapi kerbau itu bukannya
pergi, malah menerjang sang putri hingga dia jatuh pingsan. Ketika ia siuman,
ia kaget bukan main. Kerbau itu sedang menjilati seluruh permukaan kulitnya
yang membusuk.
Dari
hari kehari kerbau itu datang lagi. Seperti biasa ia selalu menjilati kulit
putri Tadampalik yang busuk, hingga lama-lama penyakit kulit putri Tadampalik
menjadi kering dan akhirnya dia benar-benar sembuh.
Putri
dan seluruh pengikutnya merasa bersyukur kepada Tuhan. Dan sebagai ungkapan
rasa terima kasih kepada si kerbau bule, putri Tadampalik melarang seluruh
pengikutnya mengganggu ataupun menyembelih kerbau bule. Adat ini berlaku hingga
sekarang.
Pada
suatu malam, putri Tadampalik bermimpi bertemu dengan seorang pangeran yang
tampan. Pangeran itu mengajaknya pergi. Tetapi putri tidak mau. Pangeran itu
lalu berbisik : “aku adalah jodohmu. Kapan-kapan aku akan datang lagi
menjemputmu.”
Ketika
putri Tadampalik bangun, ia jadi tersenyum. Agaknya ini adalah perlambang. Perlambang
bagi hari depan yang baik. Dari hari kehari, putri Tadampalik menjadi kian
cantik. Semua bekas lukanya sudah lenyap. Ia tak ubahnya bagai ular yang baru
saja berganti kulit. Ia tak pernah lagi bersuasah hati. Namun mimpinya beberapa
waktu yang lalu selalu saja mengganggu hatinya.
Pesta
dengan berburu binatang hutan. Hal itu sudah menjadi kebiasaan di kerajaan Bone. Dalam perburuan biasanya
putra mahkota yang jadi pemimpinnya. Begitu juga yang terjadi dihari itu.
Tetapi kali ini lebih istimewa daripada biasanya. Sebab perburuan akan masuk ke
hutan yang diikuti banyak pengikut.
Begitulah,
setelah tiba waktunya putra mahkota Bone memimpin perburuan itu. Tiba—tiba ia
tergoda oleh seekor rusa. Dikejarnya rusa itu hingga masuk ke hutan yang lebat.
Namun tiba-tiba ia kehilangan buruannya, bahkan kini ia tersesat dan terpisah
dari pengawalnya. Malam pun tiba. Di dalam gelapnya malam, putra mahkota Bone
melihat jauh di bawah sana api dari sebuah perkampungan. Maka dengan segera ia
menuju ke sana. Ketika ia tiba di perkampungan itu, semua penduduknya sudah
tertidur lelap. Lalu ia pun memasuki bangunan yang erbesar di antara
rumah-rumah lainnya.
Putra
mahkota Bone begitu terpesona ketika melihat seorang putri yang sangat cantik
tengah tertidur pulas. Perlahan-lahan pangeran itu menyentuh bahu perempuan
itu. Perempuan yang tak lain adalah putri Tadampalik itu. Putri itu pun
tergagap. Ia tak percaya atas apa yang dilihatnya. Ia teringat pada mimpinya.
Pemuda di hadapannya persis dengan pemuda yang pernah hadir dalam mimpinya.
“Apakah
aku sedang bermimpi lagi?” gumam sang putri.
“Wahai
putri jelita, engkau tidak sedang bermimpi.” Sahut pangeran Bone.
Siang
harinya pangeran Bone menyampaikan isi hatinya. Ia ingin meminang sang putri
untuk dijadikan sebagai permaisuri. Pangeran itu sama sekali tak menyangka
bahwa dia sebenarnya sudah ditunangkan dengan sang putri. Putri Tadampalik juga
tidak segera berterus terang bahwa ia adalah putri kerajaan Luwu. Ia masih
merahasiakan dirinya. Karena itu dia tidak segera menerima lamaran itu.
Tiba-tiba
pengikut pangeran Bone berdatangan di tempat itu.
“Tuan
Pangeran, kami sudah lama mencari Tuan, apakah Tuan baik-baik saja?’. Kata
kepala rombongan.
“Ya
aku memang tersesat semalam. Tapi aku selamat tak kurang suatu apa pun.” Jawab
pangeran Bone.
Apa
boleh buat, meski hatinya ingin tetap tinggal, pangeran bone harus segera
pulang ke istana. Ia pamit kepada sang putri. Dan dibalas dengan tatapan penuh
arti. Di sepanjang perjalanan pangeran Bone murung sekali. Ia masih ingin berbincang
lebih lama dengan sang putri jelita. Sementara putri tadampalik juga merasa
sedih atas perpisahan itu.
Sampai
di kerajaan Bone sang pengeran langsung jatuh sakit. Keluarga kerajaan mengira
ia sedang kelelahan. Namun aneh, ia tidak mau makan dan minum sehingga
mengkhawatirkan Baginda dan Permaisuri. Satu-satunya orang yang mengetahui
sebab sakitnya pangeran Bone adalah panglima perang Anre Guru pakanyaren.
Dialah yang dulu ikut berburu dan sempat melihat sendiri pertemuan pangeran
Bone dengan putri Wajo. Maka ia usul kepada raja agar putri Wajo segera
dipinangnya.
“Tapi
pangeran Bone sudah ditunangkan dengan putri Tadampalik dari kerajaan Luwu.”
Kata Baginda.
“Tidak
mengapa seorang pangeran beristri dua, “kata penglima.” Hamba lihat putri Wajo
tak kalah cantiknya dengan putri Tadampalik. Dan pangeran Bone tampaknya sangat
mencintainya. Inilah yang menyebabkannya jatuh sakit.”
Akhirnya
Baginda menyetujui usul itu. Dikirimlah utusan untuk meminang putri Wajo. Putri
Wajo yang tak lain adalah putri Tadampalik sendiri itu menyambut kedatangan
sang pangeran dengan gembira. Ia menerima pinangan itu. Ia juga berkata terus
terang bahwa dialah putri Tadampalik dari kerajaan Luwu. Sang pangeran terkejut
bercampur gembira. Namun putri Tadampalik belum menerima sepenuhnya sebelum ada
izin dari ayahandanya. Sebagai tanda persetujuan ia memberikan keris pusaka
pemberian ayahnya kepada pangeran Bone. Rombongan pangeran pum kemudian
meninggalkan Wajo.
Setelah
sampai di Bone, rombongan segera mempersiapkan kunjungan untuk kedua kalinya ke
negeri luwu. Mereka berangkat dengan rombongan yang tidak terlalu besar, karena
yakin raja Luwu tak mungkin akan menolak pinangan sebab putri Tadampalik sudah
memberikan keris pusaka sebagai tanda persetujuannya.
Raja
dan Ratu Luwu tidak menyangka jika putrinya sembuh seperti sedia kala. Mereka
sangat terharu. Mereka berfikif agaknya dewa telah memaafkan kesalahan mereka.
Maka mereka menerima pinangan raja Bone. Sekaligus menentukan hari
perkawinannya.
Ketabahan
putri Tadampalik dalam menghadapi ujian berat berupa penyakit yang menjijikkan
akhirnya berbuah kebahagiaan. Ia dapat sembuh seperti sedia kala dan bersanding
dengan pangeran Bone yang tampan dan gagah berani. Pesta perkawinan dirayakan
dengan meriah sekali oelh kedua kerajaan
beserta rakyat masing-masing. Akhirnya putri Tadampalik diboyong ke
Bone. Mereka hidup bahagia di tengah-tengah rakyat yang mencintainya.
Demikianlah asal mula rakyat Sulawesi selatan tidak boleh menyembelih kerbau
bule.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar