Kisah tentang Covid-19 tidak pernah berakhir.
Mungkin kisahnya akan berakhir setelah pagebluk ini benar-benar sirna di permukaan bumi. Atau jangan-jangan Covid-19 akan bermutasi dengan jenis baru lalu disebut pascacovid atau Covid-20. He.he...jangan
sampai ya. Mari terus berdoa dan
tetap tinggal di rumah. Kali ini kita akan berbagi bukan
persoalan keseriusan pandemi ini dan bukan upaya memutus mata rantainya.
Apalagi berdebat tentang mudik dan pulang kampung. Yuk, sedikit rehat dengan
menelisik benda-benda penting di rumah kita yang jarang tersentuh atau bahkan
mungkin tidak pernah tersentuh selama kita tinggal di rumah saat ini. Ini sifatnya
relatif ya, saya hanya berbagi berdasarkan pengalaman. Kisah ini juga memberikan
pesan kepada
kita untuk merefleksi diri agar tidak merasa begitu penting dalam sebuah
komunitas, kelompok kerja, atau perkumpulan apa pun namanya. Kali ini mungkin
kita begitu dibutuhkan. Ide-ide yang kita sampaikan akan didengar oleh orang lain. Orang-orang selalu memberikan jempol terhadap
ide dan kerja-kerja kita. Atau bahkan, kantor tempat kita
bekerja tidak berani mengambil keputusan sebelum diri kita memberi saran dan
masukan. Akan tetapi, kita harus sadar dan paham, semua itu tidak berlangsung
selamanya. Ada kalanya kita tidak lagi dibutuhkan. Atau waktu-waktu tertentu,
kita akan istirahat dan nanti akan muncul kembali pada situasi yang lain. Atau
bahkan kita akan dirumahkan atau di-PHK, istilah lebih keren dari kata dipecat. Tapi, di lain waktu sebuah
kantor atau pekerjaan lain akan memunculkan kembali diri kita bak mutiara yang lama terpendam. Nah,
yuk, mengambil pelajaran hidup dari benda-benda penting berikut yang kita abaikan dalam masa pembatasan sosial ini. Apa saja dan apa pesan hidup yang
dapat kita petik?
1 Setrika
Kita-kita yang bekerja di
kantor ada tidak yang tidak memiliki setrika di rumahnya. Lalu, coba sekarang perhatikan.
Di mana
setrika Aanda
letakkan. Benda yang satu ini, sebelum masa pandemi, menjadi barang yang sangat
dibutuhkan. Setiap hari membantu kita untuk memaksimalkan penampilan dengan menghaluskan pakaian kita. Bahkan, ada kawan saya yang selalu membawa setrika di atas mobilnya. Setrika itu akan ikut ke mana saja dia pergi. Sekarang, saya
secara pribadi sudah hampir dua bulan tidak pernah memegang gagang setrika.
Bahkan, saban waktu benda ini menjadi mainan mobil-mobilan sang anak. Mmmm, sekali
lagi ingat diri kita ya. Jangan pernah merasa begitu berarti dalam sebuah
komunitas. Posisikan diri kita sebagai pelengkap yang saling membutuhkan dalam
situasi yang berbeda-beda. Bisa
saja hari ini kita begitu berarti terhadap hidup orang lain, tapi siap-siap di
lain waktu untuk dicampakkan
Sepatu kerja
Benda yang kedua ini bagaimana kabarnya di rumah
Anda? Apakah masih kinclong dan setiap hari Anda menyemirnya? Betapa banyak di antara kita yang memiliki sepatu kantor lebih dari dua. Bahkan ada yang memilikinya lebih
dari sepuluh. Senin lain, Selasa, lain, lain hari lain sepatu. Atau bahkan ada yang lain
waktu lain sepatu. Pagi lain, siang lain,sore dan malam
merek lain dan model lain lagi. Sekali lagi, saya secara pribadi, sepatu kerja itu sedang tidur manis di
atas mobil dan di rak sepatu. Maklum,
hanya dua pasang. Saban hari, saya tersenyum melihatnya. Mungkin sepatu itu terbuai
mimpi dan merasa keenakan karena tidak pernah lagi terinjak diinjakkan di mana saja kita mau.
Nah, kita, jika berposisi
memiliki bawahan, pahamilah. Sekali-kali berikan mereka waktu untuk menikmati hidupnya. Bawahan
adalah mitra kerja kita. Dia akan sangat berfungsi sesuai dengan pekerjaan yang Anda
berikan kepada
mereka. Perlakukan mereka dengan baik sebagai mitra kerja.
Jam tangan
Ketika menuliskan bagian ketiga ini, saya menanyakannya kepada
istri. Dia lalu tersenyum. “Ada kok orang yang biar di rumah suka memakai jam tangan!”, katanya. Iya juga sih! Akan tetapi, sekali
lagi, ini secara umum, tidak berbicara perorangan. Coba kita ingat. Sebelum Covid-19 ini memutus aktivitas sosial kita,
berapa kali kita mesti memutar kendaraan lalu kembali ke
rumah hanya gegara lupa memakai jam tangan. Lalu sekarang di mana Anda menyimpannya? Di
atas lemari? Di laci? Di dasbor mobil? Di dalam tas kerja? Atau jangan-jangan
pada saat membaca tulisan ini, Anda lupa di mana menyimpan jam tangan yang begitu penting
sebelum Covid-19 memaksa kita untuk tetap di rumah.
Begitulah sebagian watak
manusia. Memperhatikan jika butuh, lalu melupakan jika tak membutuhkan. Secara
hakikat, iya, hubungan itu terjadi karena saling membutuhkan. Tetapi, mestinya saling membutuhkan itu tidak boleh
dimaknai secara pragmatis. Manusia mestinya menjalin sosial tanpa dasar saya dapat apa dan
Anda kebagian apa.
Pakaian kantor
Apakah kantor Anda mewajibkan memakai
pakaian kantor jika melaksanakan meeting secara virtual? Atau jika Anda pendidik, apakah mewajibkan peserta didik Anda
menggunakan pakaian sekolah jika proses belajar dari rumah Anda lakukan? Saya baca di media, sebuah sekolah
di Amerika Serikat menerapkannya.
Peserta didik mereka setiap hari wajib menggunakan seragam sekolah ketika
proses pembelajaran secara daring dilaksanakan. Tapi, sekali lagi, hanya beberapa
instansi yamg menerapkannya. Di antara kita lebih banyak yang melipat rapi pakaian kantornya lalu menyimpan dengan wewangian di dalam lemari. Sesekali telisik ya, jangan sampai menjadi sarang tikus lalau Anda
kelabakan ketika masa bekerja dari rumah sudah berakhir.
Lalu apa filosofinya untuk
kita? Sederhananya, kita mesti sadar bahwa seragam tidaklah menjadi prasyarat utama sebuah proses
kerja dapat dilaksanakan. Pernah membaca diskusi panas di media sosial ketika Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim, menggunakan pakaian yang dianggap santai ketika menghadiri pelantikan seorang rektor? Bahkan, Mantan Ketua DPR RI, Marzuki Alie pun menyoroti
gaya berpakaian sang menteri yang hanya menggunakan baju batik berwarna biru
yang lengannya digulung ke atas, celana seperti jeans dan sepatu tanpa kaos
kaki. Tidak perlu saya lanjutkan. Cukuplah itu menjadi dasar. Siapa Nadiem Makariem saat ini, bagiamana kariernya dan saksikanlah bagaimana dia begitu nyaman dengan gaya
berpakaiannya.
5 Alat-alat perawatan wanita
Ini hanyalah persepsi. Juga tidak
mengenai semua perempuan. Toh, begitu banyak perempuan saat ini yang lebih
memilih tampil apa adanya. Tapi, saya yakin, lebih banyak lagi perempuan yang
tidak berani keluar rumah sebelum mendandani tubuh
mereka dengan berbagai macam make up. Mulai dari rambut hingga ujung kaki. Bagian tubuh yang
paling banyak tersentuh benda ini adalah wajah. Cermin biasanya menjadi benda
yang paling menyita waktu di pagi hari bagi perempuan. Bahkan, terkadang ketika
ada peserta
didik saya
yang terlambat, lalu saya tanya alasannya. Sederhana, dia balik karena lupa memasukkan alat make up ke dalam tasnya. Wow, betapa benda
ini menjadi barang yang sangat penting bagi perempuan di saat keluar rumah.
Lalu sekarang, masihkanh Anda ingin sibuk di pagi hari dengan hati-hati menarik dan melukis bibir Anda dengan gincu? Lalu
masihkan Anda
setia kala matahari belum muncul melukis dan meliukkan alis dengan alat khusus? Masihkah Anda setiap
saat memandang wajah di cermin lalu menghitung flek hitam yang muncul di sana
dan berusaha sekuat tenaga unuk mengilangkan atau paling tidak menyamarkannya? Mmmmm, jika iya, berarti Anda memang perempuan
pesolek sejati. Jika tidak, yuk mari mengambil hikmah. Mari memandang wajah Anda
masing-masing. Seberapa perbedaan yang muncul ketika tampil secara alami dan tampil
maksimal dengan
make up. Jika natural itu lebih baik,
maka belajarlah dari pandemi ini. Jika alis itu terlihat indah tanpa dilukis, biarkanlah dia
seperti itu.
Toh, Tuhan telah
mencipatakan
kita dengan begitu sempurna. Ingatlah pesan para guru kita, kecantikan hakiki ada di dalam hati.
Bukankah jeruk yang berkulit tak menarik dan penuh bintik belum tentu kecut? Dan tidak ada jaminan jeruk
yang berkulit mulus dan bercahaya menawarkan rasa manis kepada kita.
Terima kasih, selalu belajar
dari Covid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar